Senin, 12 Maret 2012

TRANSFORMASI KEARIFAN NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL SUNDA DALAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN KARAKTER BUDAYA BANGSA


ABSTRAK
Budaya  dan masyarakat tidak dapat di pisahkan, keduanya saling berhubungan dengan erat, budaya sunda adalah milik sekitar 20 juta orang sunda yang selama ini perkembanggan dapat dikatakan kurang mendapat perhatian kebanyakan orang sunda sendiri.
Budaya sunda memiliki khazanah yang sangat lengkap dan berharga bagi kehidupan manusia mulai dari akasa, prasasti, naskah-naskah yang diwariskan serta adat istiadat yang menyertai kehidupan manusia sunda, (kawih, tembang, paribasa,  siloka, undak usuk basa, panca kaki ) didalamnya banyak kearifan-kearifan yang harus dikembangkan untuk menyertai kehidupan orang sunda pada generasi berikutnya,
Transformasi budaya dalam pendidikan karakter merupakan salah satu alternative agar khazanah budaya sunda berkembang dengan baik juga dapat dijadikan salah satu pemecahan permaslahan karakter bangsa kita pada saat ini.
Tranformasi dapat dilakukan dengan pemaknaan dan publikasi yang terus menerus agar dikenal dan dipahami oleh generasi muda orang sunda.

A.     PENDAHULUAN

Sekalipun sulit dalam merefresentasikan sosok manusia sunda (Ajip Rosidi : 2009) namun gambaran umum budaya sunda dapat kita baca dan telaah dari berbagai sumber dan adat istiadat (kebiasan) yang selama ini atau pada jaman dahulu dilakukan oleh suku bangsa sunda baik yang masih murni maupun yan sudah diakulturasikan dengan kebudayaan lain yang karenanya menjadi ada istiadat yang baru.
Lebih lanjut Ajip Rosidi (2009) mengatakan bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh beberapa hambatan diantaranya :
1.      Pergaulan yang erat antara orang sunda dengan orang jawa karena kedua suku tersebut sama-sama hidup dalam pulau yang sama menyebabkan banyaknya persamaan difat dan budaya antara manusia sunda dan manusia jawa.
2.      Lemahnya bukti-bukti sejarah yang menunjukan keberadaan orang sunda mulai dari sejarah kerajaan pertama di pulau jawa sampai kepada masuknya agama Islam ke  tatar sunda.
3.      Pada masyarakat sunda tidak ada daerah pusat budaya sunda berbeda dengan jawa yang menganggap Solo dan Yogyakarta sebagai daerah pusat budaya jawa. Sekalipun pada kongres basa sunda  tahun 1927 memutuskan bahwa yang menjadi bahasa lulugu (umum) adalah bahasa dialek Bandung tetapi Bandung tidak dikatakan sebagai pusat budaya sunda.
4.      Pengakuan dan pemahaman  masyarakat sunda terhadap karya sastra dan adat istiadat sunda seperti pepeling, siloka, pamali dan lain-lain sangat lemah karena kurangnya penyebaran karya sastra dan adat istiadat tersebut. (urang sunda mah teu kuat nahan adat beda jeung urang jawa)
5.      Telaah terhadap kebudayaan sunda sangat jarang/tidak banyak.
Oleh karena itu kalau kita telaah baik dari sosok imajiner orang sunda (misal : sangkuriang, si kabayan, mundinglaya, purbasari dll)  maupun dari sejarah kesundaan dan adat istiadat sunda ternyata banyak sekali ragam budaya sunda yang memiliki nilai-nilai pendidikan karakter yang memiliki kearifan dan menunjukkan keunggulan hidup manusia sunda pada jaman dahulu.
Dalam budaya sunda banyak tembang dan kawih yang didalamnya penuh dengan tuntunan hidup dalam pembentukan karakter manusia, banyak pupuh asmarandana yang berisi pepeling (nasihat). Dalam kehidupan social terdapat undak usuk basa, tatakrama dan panca kaki yang mengatur pola hubungan kekerabatan orang sunda yang mencerminkan karakter saling hormat menghormati dan harga menghargai diantara anggota masyarakat dan tali kekerabatan. Dalam membangun sebuah masyarakat yang dimulai dari membangun sebuah keluarga terdapat adat istiadat pernikalah mulai dari melamar/meminang, seserahan, ngeuyeuk seureuh, midadaren, akad nikah, upacara sawer dan buka pintu, upacara huap lingkung sampai dengan upacara numbas, kalau kita cermati penuh dengan nilai-nilai pendidikan karakter, bahkan didalamnya terdapat metode-metode bagaimana orang tua mendidikan anaknya tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dialami. Siloka dan kata ”pamali” merupakan metode efektif dalam mendidikan anak agar memiliki karakter dan akhlak yang baik dalam hidupnya.
Dalam konteks pendidikan kita sekarang ini, hampir dapat dipastikan lemahnya proses pendidikan dalam membangun karakter bangsa, sekalipun banyak factor penyebabnya namun transformasi budaya dalam hal ini budaya local masih sangat mungkin kita lakukan karena sudah terbukti banyak karifan local yang dapat memandirikan dan membangun akhlak/karakter yang baik.
Permasalahan udamanya adalah :
1.      bagaimana transformasi budaya itu dilakukan melalui proses pendidikan ?  
2.      dalam aspek apa saja kearifan budaya itu dikembangkan dalam proses pembelajaran ?  
3.      bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan oleh praktisi pendidikan agar kearifan budaya local sunda dapat menunjang pendidikan karakter bangsa.
Perlu pula kita sadari dalam konstelasi pendidikan yang selama ini dijalankan, bahwa pengembangan kurikulum persekolahan yang diserahkan kepada pelaksana dilapangan (guru dan pimpinan satuan pendidikan) melalui Manajemen Berbasis sekolah (MBS) dan desentralisasi serta diversifikasi kurikulum belum bisa mengangkat dan mewadahi kepentingan kearifan budaya local yang ada pada masyarakat lingkungan sekolah. Bahkan dengan pelajaran muatan local (mulok) bahasa sunda saja tidak cukup untuk memformulasikan transformasi kearifan local budaya sunda dalam pendidikan karakter bangsa.

B.      PEMBAHASAN
1.      Budaya sebagai tatanan hidup
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Identitas budaya terdiri atas perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antar sesama manusia serta antara manusia dan alam semesta (Kuntjaraningrat : 2009).
Budaya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, aturan-aturan dan norma-norma yang melingkupi suatu kelompok masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan individu dalam masyarakat tersebut. Sikap dan tindakan individu dalam suatu masyarakat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan nilai, keyakinan aturan dan norma akan menimbulkan sikap dan tindakan yang cenderung homogen. Artinya, jika setiap individu mengacu pada nilai, keyakinan, aturan dan norma kelompok, maka sikap dan perilaku mereka akan cenderung seragam. Misalnya dalam suatu masyarakat ada aturan mengenai bagaimana melakukan pernikahan sehingga laki-laki dan perempuan dapat disahkan sebagai suami istri. Ketika anggota masyarakat akan menikah, maka proses yang dilalui oleh anggota masyarakat itu akan cenderung sama dengan anggota masyarakat yang lainnya.
Pemahaman di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup (tatanan hidup) dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan. Disinilah pentingnya mengaktualisasikan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat dalam pendidikan.
Dalam memasuki milenium ketiga yang antara lain, ditandai dengan terjadinya perubahan tata nilai sebagai akibat adanya interaksi antarbudaya dalam proses globalisasi yang sedang melanda dunia, bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam pembangunan bidang kebudayaan. Untuk itu, upaya pembangunan karakter bangsa masih membutuhkan kerja keras yang persisten dan konsisten sehingga mampu mengatasi ketertinggalan. Sinergitas segenap komponen bangsa dalam melanjutkan pembangunan karakter bangsa harus terus diperkuat dalam rangka mewujudkan bangsa yang berkarakter, maju, berdaya saing, dan mewujudkan bangsa Indonesia yang bangga terhadap identitas nasional yang dimiliki, seperti nilai budaya dan bahasa.
Dewasa ini interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap budaya sendiri.
Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya serta pranata sosial kemasyarakatan termasuk budaya sunda di dalamnya. Upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yang, antara lain, ditandai oleh semakin berkembangnya berbagai dialog lokal, nasional, dan internasional; tumbuhnya pemahaman atas keberagaman; dan menurunnya eskalasi konflik lokal horizontal di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional harus diarahkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa, melalui
a)      mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan penguatan ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus budaya global;
b)      meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi pesan moral yang terkandung pada setiap kekayaan dan nilai-nilai budaya bangsa; 
c)      mendorong kerja sama yang sinergis antarpemangku kepentingan dalam pengelolaan kekayaan budaya, serta
d)      nilai-nilai budaya yang di kembangkan dan dijunjung tinggi harus berkontribusi dengan jelas terhadap proses pendidikan yang dijalankan.



2.      Budaya Sunda dan Karakter “Ki Sunda”
Budaya sunda yang kaya dengan karakter “ki sunda” memiliki nilai-nilai kearifan filosofik yang manusiawi dan universal, dan tentunya masih relevan untuk dijadikan pandangan hidup dalam mengarungi kehidupan kita sekarang. Ketika kita mempelajari kebudayaan sunda kita akan dapat mengetahui, mengenal dan memahami sejarah kebudayaan dan peradaban para leluhur nenek moyang kita yang meliputi aksara, prasasti, dan naskah yang diwariskannya serta segenap karakter, adat istiadat yang berkembang selama ini.
Dalam adat pengajaran orang sunda banyak ditunjukkan hubungan antara murid dengan guru, methode guru menasihati muridnya, dan pengungkapan semboyan-semboyan hidup dan analogi/siloka yang melatih anak didiknya untuk cermat dan menghayati/memaknai isyarat-isyarat yang muncul dalam kehidupan, kesemuanya itu sangat berkaitan dengan pembangunan karakter manusia. (Hasan Mustapa : 2010)
Hubungan guru dengan murid dibangun sama antara hubungan orang tua (ratu) dengan anaknya yang pada hakikatnya hubungan antara orang dewasa yang banyak luangnya dengan dengan orang yang lebih muda. Dan yang lebih dewasa memberikan contoh kepada yang lebih muda karena perbuatannya akan diikuti oleh keturunannya. Orang dewasa dalam menghadapi anak muda harus panjang jeujeuhan artinya memiliki pertimbangan dan pemahaman yang luas supaya orang mudanya memiliki asak jeujeuhan.
Methode guru menasihati muridnya dengan cara menunjukkan hal-hal negative dari akibat melakukan kesalahan pada masa lalu dengan kata “pamali”(tabu). “Pamali ulah ngadiukan nyiru bisi labuh dinu loba batur” nasihat ini untuk melarang anak menduduki “nyiru” tempat mendinginkan nasi setelah di masak, karena “nyiru” bukan tempat duduk. “Labuh dinu loba batur” merupakan akibat sebagai gambaran yang tidak baik sebab disamping jatuh itu sakit kalau jatuhnya di depan banyak orang akan malu. “pamali ulah ulin wanci sareupna bisi dirawu kelong” artinya tdak boleh bermain pada saat itu karena waktunya orang islam melaksanakan sholat magrib.
Semboyan hidup diungkapkan secara terus-menerus dengan peribahasa dan terjemahan yang lugas  dan praktis supaya menjadi pedoman hidup bai siapapun yang memahaminya. Seperti semboyah hidup dengan peribahasa “ tata-titi-duduga-peryoga”. Tata artinya tataman (semut) yang banyak temannya dan selalu bersalaman bila bertemu sekalipun terburu-buru. Titi  artinya titinggi (trenggiling)  yang banyk kakinya tetapi ketika berjalan terurus dengan baik  bagai seorang pembesar yang berbudi menggerakkan rakyatnya yang kecil. Duduga artinya munding (kerbau) yang selalu berjalan di pinggir kalau dan tidak pernah congkak. Peryoga artinya buruh hap-hap yang karena kehati-hatiannya kalau hingga di satu pohon selalu di cek dulu apakah pohon itu kokoh atau tidak.
Demikian pula kalau orang sunda menikah sebelum menikah, pada saat proses menikah (ijab kobul) dan setelah proses menikah dipenuhi dengan adat istiadat yang kesemuanya merupakan upaya pendidikan pada memontum penting dalam kehidupan manusia sebelum membangun  rumah tangga sebagai tanda kehidupan orang uang sudah dewasa yang harus mandiri dan penuh tanggung jawab. Adat istiadat tersebut diantaranya :
a)      melamar/meminang,
Melamar atau meminang adalah kunjungan pertama orang tua laki-laki kepada calon besan baik dating sendiri atau melakilkan untuk neundeun omong (menitip ucapan) atau menyimpan janji yang menginginkan anak calon besannya untuk menjadi  menantunya.
b)      seserahan,
pihak laki-laki membawa barang-brang, pakaian , uang bahkan perabot rumah yang diserahkan pada saat atau menjelah pernikahan berlangsung. Dalam acara seserahan juga dilakukan serah terima calon pengantin laki-laki dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga calon istri/perempuan.
c)      ngeuyeuk seureuh,
tradisi ini dilakukan dengan cara calon pengantin membasuh telapak kaki orang tuanya agar mendapat keberhakan dari pernikahannya. Ngeuyeuk seureuh artinya mengurus, mengerjakan atau mengatur sirih serta menyambung-nyambungkannya agar bersatu.
d)      midadaren,
tradisi ini dilakukan oleh calon pengantin  untuk menjaga diri tidka boleh keluar rumah untuk mempersiapkan malam pengantin midodaren (malam membidadari).
e)      akad nikah,
tradisi melakukan ijab kobul akad nikah sebagaimana diatur dalam ajaran agama yang dianutnya, karena mayoritas masyarakat sunda menganut agama Islam maka upacara akad nikah disesuaikan dengan tuntunan ajaran agama Islam.
f)       upacara sawer dan buka pintu,
tradisi ini dilakukan stelah selesai akan nikah sebelum kedua pengantin memasuki rumah, dipimpin oleh juru sawer yang melantunkan syair-syair berupa nasihat bagi kedua pengantin sebagai bekal dalam membangun rumah tangganya. Dan upacara buka pintu biasanya dilakukan dengan nincak endog (menginjak telur) oleh pengantin laki-laki sebagai pembuka bagi yang bersangkutan karena akan bergabung dengan keluarga istrinya, nincak endog (menginjak telur) mengandung siloka bagi kedua pengantin apa yang akan dialaminya setelah perkawinan di lakukan.
g)      upacara huap lingkung  dan
tradisi ini dilakukan dengan cara kedua pengantin saling berebut bakakak ayam (panggang ayam) kemudian saling menyuapinya sebagai tanda keduanya harus saling bekerjasama dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
h)      upacara numbas
adalah memberikan hadiah kepada pengantin perempuan karena telah menjaga kesuciannya sampai pernikahan. (Elis Suryani : 2010)
Kalau kita cermati apa yang dilakukan dalam prosesi pernikahan semua merupakan penanaman sikap-sikap sebagai karakter terbaik bagi orang yang telah memasuk masa dewasa mealui jenjang pernikahan.

3.      Transformasi budaya sunda dalam Pendidikan Karakter Budaya Bangsa
Dengan mencermati perilaku “ki sunda” di atas betapa pentingnya karakter-karakter yang baik dari “ki sunda” itu dipedomani dan dilaksanakan oleh generasi kita saat ini ditengah-tengah bangsa kita mengalami krisis multi dimensi.
Pendidikan harus tampil melakukan transformasi budaya baik melalui jalur persekolah maupun jalur pendidikan lainnya. Budaya sunda jangan hanya di pelajarkan melalui muatan local bahasa  sunda saja tetapi harus lebih luas dari pada itu.
Guru harus panjang jeujeuhan supaya dapat mendidik anak yang asak jeujeuhan, pada lingkup proses pendidikan budaya “pamali” (tabu) harus di kuatkan tidak perlu dirasionaliasi jika akan mengakibatkan dangkalnya pemahaman murid terhadap budaya tabu tersebut.
Semua pihak harus memberikan ruang yang lebih terbuka untuk berkembangnya kebudayaan sunda dan memaknainya sebagai bagian bari upaya pendidikan karakter bangsa.
Pepeling pupuh asmarandana misalnya yang berbunyi :
Eling-eling mangka eling
Rumingkang dibumi alam
Darma wawayangan bae
Raga taya pangawasa
Lamun kasasar lampah
Napsu nu matak kaduhung
Badan nu katempuhan
(Pepeling karya Bratawijaya, Ajip Rosidi : 2009) kalau kita cermati pupuh ini memiliki makna filosofis hudup yang sangat berarti sehingga perlu di publikasikan secara terbuka dan terus menerus, dan para praktisi pendidikan harus memberikan pemaknaan yang mendalam bagi generasi muda dalam memahami pupuh tersebut. Itulah bagian dari transformasi kearifan budaya lokal sunda dalan pendidikan karakter.
Transformasi budaya sunda dalam pendidikan karakter juga dapat dilakukan dengan memberikan terjemahan/pemaknaan secara lugas dan mempublikasikanya secara terus-menerus terhadap semua pribahasa, siloka, semboyan hidup dan kegiatan upacara-upacara adat orang sunda yang menyertai kehidupan formal masyarakat agar generasi berikutnya memiliki pemahaman yang luas tentang pentingnya pengembangan dan pelestarian kearifan budaya local sunda yang akan membantu mengembangkan karakter masyarakat sunda yang dinamis, religious dan memiki ketahanan (survive) hidup bermartabat pada masanya.

C.      KESIMPULAN

Transformasi budaya sunda dalam pendidikan karakter sangat penting dilakukan sebagai bukti “ki sunda” memiliki berbagai kearifan yang berguna bagi kehidupan manusia ada generasi berikutnya.
Transformasi budaya dapat dilakukan dengan memberikan pemaknaan yang lebih lugas dan terbuka serta melakukan publikasi secara terus menerus agar dapat dipahami secara lebih mendalam oleh generasi muda.
Pengembangan strategi dan methode pendidikan pada sekolah perlu memaknai kahidupan orang sunda yang lebih memperhatikan pola hubungan dan interaksi edukatif yang memenuhi kebutuhan mental dan moral peserta didik melalui penanaman undak usuk basa, tatakrama dan panca kaki yang mengatur pola hubungan kekerabatan orang sunda.
Perlu dikembangkan pendidikan berbasis budaya yang didalamnya dikembangkan kebijakan-kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya sebagai landasan bertindak dan berpijak. Semua pendidik dan tenaga kependidikan memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan budaya dalam pendidikan yang dijalankan.


PEMODELAN PEMBANGUNAN KARAKTER BUDAYA BANGSA PADA MASYARAKAT SIPIL

PEMODELAN PEMBANGUNAN KARAKTER BUDAYA BANGSA PADA MASYARAKAT SIPIL
Study Implementatif terhadap model perencanaan tindakan pembudayaan Amalan nilai-nilai asli Putrajaya (negara persekutuan Mayalsia)
Oleh :
Rahmat Hidayat

PENDAHULUAN
Pengembangan pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah  gagasan besar yang telah dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini, karena disadari bahwa bangsa kita terdiri atas berbagai suku bangsa dengan nuansa kedaerahan yang beragam dan sangat kental, oleh karena itu bangsa kita membutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter yang holistik sebagai satu kesatuan bangsa. Hal ini sangat penting karena menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Pembangunan karakter bangsa memiliki nilai penting yang sangat luas dan bersifat multidimensional. Sangat luas karena terkait dengan pengembangan Pembangunan karakter merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara, bersifat multidimensional karena berhubungan dengan berbagai aspek, komponen dan sisi-si kehidupan yang beragam dan tidak bisa lepas dari konteks pembangunan nasional.
Menyadari kondisi karakter masyarakat kita saat ini, pemerintah telah mengambil inisatif untuk mengarusutamakan pembangunan karakter bangsa sebagaimana tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang menempatkan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional.
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa ini telah disusun sebagai pelaksanaan amanat  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang telah disusun secara bersama-sama oleh berbagai kementerian, lembaga nonkementerian dan lembaga nonpemerintah yang terkait, antara lain Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Yayasan Jati Diri Bangsa. Dalam penyusunan Kebijakan Nasional ini juga menggali masukan dari para pakar, praktisi, tokoh masyarakat, pemuka agama, budayawan, dan berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan karakter bangsa. (Depdiknas : 2010)
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa  telah dituangkan dalam sebuah panduan untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pembangunan Karakter Bangsa dengan mendorong partisipasi aktif dari berbagai komponen bangsa sebagai grand designe yang dapat dipedomani oleh semua yang berkepentingan dan memperhatikan pentingnya pembangunan karakter bangsa ini.
Dalam naskah kebijakan pembangunan karakter bangsa tersebut  telah dituangkan ruang lingkup sasaran pembangunan yang diantaranya selain lingkup keluarga dan satuan pendidikan, juga meliputi lingkup pemerintahan dan lingkup masyarakat sipil.
Pemerintahan merupakan wahana pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan penyelenggara negara, elite pemerintah, dan  elite politik. Unsur pemerintahan merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa karena aparatur negara sebagai penyelenggara pemerintahan merupakan pengambil dan pelaksana kebijakan yang ikut menentukan berhasilnya pembangunan karakter pada tataran informal, formal, dan nonformal. Pemerintahlah yang mengeluarkan berbagai kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan. Kebijakan pemerintah dalam berbagai seginya (termasuk kebijakan dalam bidang penyiaran atau media massa) harus mengacu pada pengarusutamaan pembangunan karakter bangsa
Masyarakat sipil merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter melalui keteladanan tokoh dan pemimpin masyarakat serta berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi sosial kemasyarakatan sehingga nilai-nilai karakter dapat diinternalisasi menjadi perilaku dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Berkenaan dengan pengembangan pembangunan karakter bangsa pada lingkup pemerintahan dan lingkup masyarakat sipil, tidak ada salahnya jika kita berkaca kepada apa yang dilakukan oleh negara tetangga kita Malaysia yang dapat di katakan telah berhasil merintis sebuah strategi pelaksanaan pembudayaan nilai-nilai asli (kearifan lokal) di Putrajaya sebuah negara persekutuan di Malaysia. Dan telah berhasil menyusun “Pelan Tindakan Pembudayaan Amalan Nilai-nilai murni Putrajaya tahun 2011-2015”. (Sumber : Unit Pemodenan Tadbiran Perancangan Pengurusan Malaysia/MAMPU dan Perbadanan Malaysia)



KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA INDONESIA
Sebagai bahan belajar ada baiknya kalau kita cermati dulu naskah kebijakan pembangunan karakter bangsa yang telah di jadikan panduan dalam penentuan arah kebijakan pembangunan tersebut.

Pembangunan Karakter Bangsa dikembangkan berakar pada munculnya berbagai permasalahan bangsa yang secara umum meliputi permasalahan disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa serta acaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa. Permaslahan-permasalahan tersebut berkaitan erat dengan bidang politik, hukum, keamanan, kesejahteraan dan perekonomian bangsa. Hal ini dapat kita pahami bahwa permasalahan bangsa adalah merupakan permasalahan yang sangat komplek dan bersifat multi dimensional dan berakar pada memudarnya karakter baik bangsa kita.
Pembangunan karakter bangsa dilakukan dengan menggunakan strategi utama sosialisiasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan dan kerjasama, dengan memperhatikan lingkungan strategis dan konsesus nasional dengan mengembangkan karakter bangsa yang meliputi sikap Tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,  bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.




Pembudayaan Pendidikan Karakter Bangsa
Strategi pembangunan karakter bangsa melalui pembudayaan dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dunia usaha, partai politik, dan media massa. Strategi pembudayaan menyangkut pelestarian, pembiasaan, dan pemantapan nilai-nilai baik guna meningkatkan martabat sebuah bangsa. Strategi tersebut dapat berwujud pemodelan, penghargaan, pengidolaan, fasilitasi, serta hadiah dan hukuman. (Depsiknas : 2010)

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang. Pendidikan dalam keluarga sangat berperan dalam mengembangkan karakter, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana. Dalam konteks ini proses sosialisasi dan enkulturasi terjadi secara berkelanjutan. Hal ini bertujuan untuk membimbing anak agar menjadi manusia yang  beriman, bertakwa, berakhlak mulia, tangguh, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli akan lingkungan, dan lain sebagainya.

Peran orang tua dalam membentuk karakter anak sangat penting. Salah satunya dengan mengajarkan cara berbahasa dalam pergaulan sehari-hari kepada anak. Tentunya masih banyak contoh lain yang bisa dikembangkan, yaitu pembiasaan-pembiasaan lainnya sesuai lingkungan/budaya masing-masing, misalnya: membiasakan menghargai hasil karya anak walau bagaimana pun bentuknya dan tidak membandingkan hasil karya anak sendiri dengan anak lain atau temannya.
Keluarga dapat berperan sebagi fondasi dasar untuk memulai langkah-langkah pembudayaan karakter melalui pembiasaan bersikap dan berperilaku sesuai dengan karakter yang diharapkan. Pembiasaan yang disertai dengan teladan dan diperkuat dengan penanaman nilai-nilai yang mendasari secara bertahap akan membentuk budaya serta mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.  Dengan cara itu lingkungan keluarga dapat menjadi pola penting dalam pembudayaan karakter bangsa bagi anak dan generasi muda.

Kepribadian seseorang dapat diperoleh melalui proses yang dialami  sejak kelahiran. Pada tahap itu, ia mulai mempelajari pola-pola perilaku  yang berlaku dalam masyarakatnya dengan cara mengadakan hubungan dengan orang lain.  Nilai-nilai dan norma luhur yang telah ada, pada saatnya nanti tentu akan mengalami gesekan-gesekan dengan nilai baru yang mau tidak mau akan dijumpai. Pada tahap inilah maka diperlukan sebuah internalisasi nilai yang kuat yang perlu dibangun dan dilaksanakan sejak dini agar masyarakat maupun warga negara sebagai entitas di dalamnya mampu menyaring berbagai dampak tersebut sehingga tidak akan kehilangan jati dirinya.

Pembudayaan di masyarakat ini dapat dilakukan melalui keteladaan tokoh masyarakat, pembiasaan nilai-nilai di lingkungan masyarakat, pembinaan dan pengembangan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, penegakan aturan yang berlaku.

Pemerintah harus menjadi teladan bagi pembudayaan karakter bangsa karena pemerintah harus dapat menjadi contoh warganya. Pemerintahan yang baik mencerminkan masyarakat yang baik. Masyarakat yang berkarakter mencerminkan warga negara yang berkarakter. Pemerintah dengan demikian harus selalu di garda depan dalam pembudayaan karakter dengan segala manifestasinya. Selain keteladan, pembudayaan dalam lingkup pemerintah dapat dilakukan dengan pembiasaan nilai-nilai di lingkungan pemerintah, peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta penegakan aturan.

Pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia, akan melahirkan potensi manusia yang kreatif, produktif, dan berkepribadian yang pada gilirannya akan membentuk karakter yang kuat. Hal itu akan bermuara pada keteladanan para pelaku dunia usaha/dunia industri sehingga dapat menjadi tokoh teladan yang membangun nilai-nilai karakter, baik bagi dunia usaha/industri maupun bagi masyarakat luas, serta mampu membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

STRATEGI PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI MURNI PUTRAJAYA MALAYSIA
Putrajaya sebagai kota percontohan
Putrajaya adalah sebuah wilayah persekutuan disamping Kualalumpur dan Labuan yang lahir sejak tahun 2001. Putrajaya merupakan sebuah kota dengan luas 4,931 hektar dan terletak dalam lingkungan Koridor Raya Multimedia (MSC) terletak di lokasi 25 km sebeah selatan Kuala Lumpur dan 20 km sebelah utara Bandara Internasional  Kuala :umpur (KLIA) serta bersebelahan dengan Cyberjaya.
Putrajaya dikembangkan dengan berasaskan 3 (tiga) konsep terpadu yaitu hubungan manusia dengan penciptanya (hablum minalloh) diikuti dengan hubungan manusia dengan manusia (hablum minan nas) dan manusia dengan alam. Konsep hubungan ketuhanan diterapkan melalui pembangunan 2 (dua) buah mesjid utama dan pembangunan surau ti setiap presint (wilayah) untuk memberikan kemudahan ibadah kepada masyarakatnya yang mayoritas Muslim.
Konsep hubungan antar manusia dengan manusia dicerminkan dengan pembangunan kawasan perumahan tanpa pagar dengan harapan terbinanya semangat kekeluargaan diantara masyarakat Putrajaya. Putrajaya dikembangkan berdasarkan prinsip kota dalam taman (garden city) yang dikembangkan dengan tidak mengganggu alam sekitar serta bergantung sesamanya. Kawasan perumahan dibentuk khusus untuk mewujudkan cara hidup secara alami dan teknoligi digabungkan dengan harmoni yang bermanfaat bagi penghuninya.
Putrajaya sebagai kota percontohan di indikasikan dengan :
a.       Kota yang selamat setiap masa (aman sepanjang waktu)
Putrajaya dengan wilayahnya diciptakan menjadi kawasan yang aman dengan kadar kriminalitas yang rendah
b.      Kota yang terurus dan bersih dengan wilayah yang sehat
Putrajaya sebuah wilayah yang mempunyai kemudahan dalam pelayanan umum yang diselenggarakan dengan baik dengan kawasan yang bersih dan bebas dari pencemaran (dijauhkan dari industri)
c.       Kota yang mempunyai fasilitas umum dan kawasan rekreasi yang mencukupi.
d.      Kota yang memiliki infrastruktur yang baik. Putrajaya dilengkapo dengan berbagai infrastruktur seperti jalan tol, sistem telekomunikai, sistem danau dan sistem drainase yang baik.
e.       Kota yang hijau dan pemeliharaan alam sekitarnya
f.        Kota yang memiliki alat transportasi yang baik dan efektif
g.       Kota yang memiliki kemudahan dlam pelayanan pengobatan dan kesehatan bagi kepentingan masyarakatnya.
h.      Kota dengan masyarakat yang berbudaya nilai murni (kearifan lokal)
i.         Kota yang mempunyai berbagai kemudahan bagi peningkatan ilmu dan pendidikan
j.         Kota yang menyediakan pelayanan yang baik dan ramah dengan masyarakat.
Putrajaya sebagai wilayah yang mengembangkan pembudayaan nilai-nilai murni dan tingkat sosial yang baik telah memiliki gambaran keberhasilan yang diharapkan (disired outcome) diantaranya :
a.       Penduduk Putrajaya adalah masyarakat yang berbudi bahasa, peramah dan bertanggung jawab
b.      Putrajaya menjadi kawasan yang bebas kriminalitas, gejala sosial dan kecelakaan
c.       Masjid, surau dan rumah ibadat di Putrajaya menjadi pusat pelayanan masyarakat (Community Service Centre) dan senantiasa menjadi tumpuan masyarakat.
d.      Persatuan pendudukan dan lembaga sukarela bergerak aktif dalam memperkokoh hubungan kemasyarakatan.
e.       Bangunan dan fasilitas bagi orang cacat disediakan secukupnya.
f.        Lingkungan alam yang bebas dari pencemaran
g.       Pelaksanaan nilai-nilai murni dan sikap mulia yang ingin di budayakan  di Putrajaya sepertimemberi tempay duduk kepada wanita yang hamil dan orang tua (lansia) di dalam bis, tertib/antri ketika naik bis, menolong tunanetra ketika menyeberang jalan, meletakkan fasilitas umum seperti troli ke tempat asalnya dan lain-lain.
h.      Budaya ziarah - menziarahi dan gotong royong.
Dalam mengembangkan nilai-nilai murni dan sikap positif di Putrajaya dikembangkan 16 nilai murni dan 23 sikap yang sudah dikenal dengan baik oleh masyarakat Puterajaya. Nilai-nilai murni yang dikembangkan adalah :
1.      Amanah
2.      Benar
3.      Bijaksana
4.      Adil
5.      Tulus
6.      Bersyukur
7.      Bertanggungjawab
8.      Bberdedikasi
9.      Berdisiplin
10.  Bekerjasama
11.  Bersih
12.  Berbudi mulia
13.  Ikhlas
14.  Sabar
15.  Sederhana
16.  Tekun.
Sikap positif yang dikembangkan adalah :
1.      Kepekaan
2.      Ikhlas
3.      Belaskasihan
4.      Kebolehpercayaan (dapat dipercaya)
5.      Kerajinan
6.      Bersemangat
7.      Bermain
8.      Pemaaf
9.      Pemurah
10.  Kelembutan
11.  Menghargai/bersyukur
12.  Mengormati
13.  Ramah mesra/berbaik
14.  Keceriaan
15.  Kesaksamaan/Keadilan
16.  Ketertiban
17.  Keadilan
18.  Menepati masa (tepat waktu)
19.  Bertanggungjawab
20.  Kawalan diri (pengendalian diri)
21.  Sensitif (kepedulian)
22.  Keikhlassan
23.  Bertolak ansur (toleransi/menerima perbedaan)
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembudayaan nilai-nilai murni di Putrajaya dilakukan dengan cara :
a.       Meningkatkan nilai kerohanian
b.      Maningkatkan semangat ketetanggaan pada masyarakat Putrajaya
c.       Memperkokoh lembaga keluarga
d.      Meningkatkan pelakskanaan menghormati peraturan dan undang-undang
e.       meningkatkan kemitraan sumber serta koordinasi antara lembaga pelaksana
f.        Memantapkan peran aparatur negara dalam pelaksanaan nilai-nilai murni bagi masyarakat umum.

Strategi pembudayaan nilai-nilai murni
Strategi yang dikembangkan dalam pembudayaan nilai-nilai murni di Putrajaya adalah :
1.      Untuk objektif strategik 1 (Meningkatkan nilai kerohanian) dilakukan :
a.       Memakmurkan mesjid dan surau
b.      Menguatkan penghayatan kerohanian dan moral
2.      Untuk objektif strategik 2 (Maningkatkan semangat ketetanggaan pada masyarakat Putrajaya ) dilakukan :
a.       Menyebarluaskan pelaksanaan penguatan pengurusan masyarakat
b.      Memperkuat interaksi sosial, persamaan dan kerjasama ketetanggan
c.       Menguatkan generasi muda untuk kelangsungan masyarakat
d.      Memupuk kecintatan kepada Putrajaya
3.      Untuk objektif strategik 3 (Memperkokoh lembaga keluarga ) dilakukan :
a.       Meningkatkan keakraban hubungan anggota keluarga
b.      Meningkatkan penghayatan nilai-nilai murni melalui pembelajaran secara berkelanjutan
c.       Memperkuat peranan kaum wanita
4.      Untuk objektif strategik 4 (Meningkatkan pelakskanaan menghormati peraturan dan undang-undang ) dilakukan :
a.       Meningkatkan kesadaran dan kepekaan pelaksanaan nilai-nilai murni
b.      Meningkatkan pemantauan yang berkelanjutan
c.       Memantapkan sikap penyayang dan prhatin
d.      Menerapkan kecintaan kepala lingkungan sekitar
5.      Untuk objektif strategik 5 (meningkatkan kemitraan sumber serta koordinasi antara lembaga pelaksana) dilakukan :
a.       Mewujudkan penyesuaian dan komunikasi yang baik
b.      Meningkatkan pelaksanaan program-program nilai-nilai murni secara terpadu
6.      Untuk objektif strategik 6 (Memantapkan peran aparatur negara dalam pelaksanaan nilai-nilai murni bagi masyarakat umum ) dilakukan :
a.       Menyebarluaskan pengamalan nilai-nilai murni melalui berbagai saluran komunikasi
b.      Memperkokoh tatakelola integritas
c.       Meningkatkan kesadaran tanggungjawab sosial
PEMODELAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA PADA MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Identitas budaya terdiri atas perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antar sesama manusia serta antara manusia dan alam semesta (Kuntjaraningrat : 2009).
Budaya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, aturan-aturan dan norma-norma yang melingkupi suatu kelompok masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan individu dalam masyarakat tersebut. Sikap dan tindakan individu dalam suatu masyarakat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan nilai, keyakinan aturan dan norma akan menimbulkan sikap dan tindakan yang cenderung homogen. Artinya, jika setiap individu mengacu pada nilai, keyakinan, aturan dan norma kelompok, maka sikap dan perilaku mereka akan cenderung seragam. Misalnya dalam suatu masyarakat ada aturan mengenai bagaimana melakukan pernikahan sehingga laki-laki dan perempuan dapat disahkan sebagai suami istri. Ketika anggota masyarakat akan menikah, maka proses yang dilalui oleh anggota masyarakat itu akan cenderung sama dengan anggota masyarakat yang lainnya.
Pemahaman di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup (tatanan hidup) dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan. Disinilah pentingnya mengaktualisasikan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat melalui penciptaan iklim dan karakter kemasyarakatan yang di bangun dalam sebuah tatanan hidup sekelompok masyarakat tertentu.
Pemodelan sebuah tatanan masyarakat yang mencerminkan pelaksanan nilai-nilai budaya yang arif perlu dilakukan tidak hanya sebatas pengembangan nilai budaya pada bidang pendidikan saja yang hanya di muat dalam kurikulum pendidikan formal, tetapi lebih penting adanya masyarakat model dalam pengembangan karakter budaya bangsa yang dapat mengimplementasikan nilai-nilai budaya yang dikembangkan.
Mencermati adanya 18 jenis karakter yang dikembangkan pada bidang pendidikan melalui kurikulum pendidikan formal, karakter-karakter tersebut harus diimplementasikan pula dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai sebuah sistem kehidupan yang memiliki keterkaitan erat dengan semua aspek pada kehidupan senyatanya.
Ke 18 jenis karakter tersebut adalah :
NILAI
DESKRIPSI
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama  yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan  tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari  sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama  hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan  yang tinggi terhadap bahasa,  lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/
       Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.  Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Tabel  Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Disadur dari Bahan Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Depdiknas : 2010)

Impelementasi dari pelaksanaan ke 18 karakter di atas didukung dengan penciptaan satu tatanan masyarakat dengan segenap infrastruktur dan suprastruktur yang memadai dan mendukung terhadap terrealisasikannya karakter tersebut, dengan demikian implementasi pendidikan budaya dan karakter diciptakan pula memalui pemodelan yang lebih implementatif dan realistis tidak hanya dalam bentuk pembelajaran di pendidikan formal saja, karena pada dasarnya pengamalan hasil pendidikan formal akan sangat tergantung dengan kondisi lingkungan dimana siswa-siswi kita tinggal.
Bentuk pemodelan ini dapat mengaca/belajar kepada apa yang dilakukan oleh negara Malaysia dengan menjadikan Putrajaya sebagai sebuah negara persekutuan yang mengamalkan nilai-nilai murninya.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pemodelan pembangunan karakter budaya bangsa diantaranya :
1.      Penetapan daerah/wilayah pemodelan  yang dijadikan sebagai wilayah percontohan
2.      Penetapan strategi pelaksanaan nilai-nilai dan sikap yang akan dikembangkan
3.      Penyediaan infrastuktur dan suprastruktur yang memadai untuk terlaksanaan nilai-nilai dan sikap yang  dikembangkan

PENUTUP
Kegiatan pemodelan sebuah tatanan hidup dalam masyarakat merupakan sebuah pendidikan keteladanan yang akan sangat efektif dalam pengembangan sikap-sikap bermasyarakat. Pengembangan sikap dan karakter bangsa akan dapat dilaksanakan bila didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai baik berupa infrastruktur maupun suprastruktur, karena bagaimana masyarakat bisa hidup bersih kalau tidak tersedia sarana kebersihan seperti tempat sampah dan lain-lain.