Senin, 04 April 2011

Makalah Kontribusi Nilai Buadaya Sunda pada pendidikan berkarakter


KONTRIBUSI NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA TERHADAP PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

A.     PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Gerak langkah pembangunan selalu diupayakan agar seirama dengan tuntutan perkembangan zaman dan perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya sehingga persoalan tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi proses penddikan yang dilakukan.
Terhadap permasalahan pendidikan selama ini, perhatian pemerintah  masih terasa belum optimal terbukti dengan semakin beragamnya masalah pendidikan dan semakin rumit dan kompleks. Kualitas lulusan masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan terkesan timpang karena UU sisdiknas kita sebagian besar hanya mengatur persekolahan saja belum mengatur pendidikan secara menyeluruh.



1.      PERMASALAHAN PENDIDIKAN INDONESIA
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi perhatian banyak kalangan. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia, beberapa data menunjukan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per-kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Kondisi di atas bila dihubungkan dengan fenomena permasalahan yang nampak menonjol dari pendidikan kita dewasa ini disebabkan karena :
a)      Pendidikan kita telah kehilangan objektivitasnya, karena dipengaruhi oleh system persekolahan yang lebih cenderung menghendaki anak atau siswanya mendapat juara kelas atau sekolah dan melupakan tujuan yang menekankan pada kemampuan siswa yang memiliki keterampilan hidup (life skill) dimasanya dan mampu memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
b)      Pendidikan kita dinilai tidak mendewasakan peserta didik karena sekolah hanya dijadikan panggung pentas, siswa hanya dibebani agar siswa mencapai rengking tertinggi, tidak di didik agar siswa menjadi dewasa, dewasa umur, dewasa berfikir, dewasa berperilaku, dewasa dalam menanggapi dan memecahkan masalah.
c)      Pendidikan kita tidak menumbuhkan pola pikir karena pembelajaran yang disajikan  lebih banyak dengan pola penyajian (delivery system) akibatnya siswa tidak dapat berinteraksi dengan bahan ajarnya secara langsung. Sedikit sekali guru yang menggunakan metode discovery, experiment, study kasus, observasi dan metode lain yang mengembangkan pola pikir siswa.
d)      Pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, karena manusia terdidik hanya dilahirkan dari sosok “pendidik” bukan hanya “pengajar”, banyak diantara guru-guru kita yang hanya berperan sebagai pengajar saja bukan sebagai pendidik, karena tidak pernah mewariskan nilai-nilai luhur akhlakul karimah dan mental moral terdidik, bahkan sering terjadi anomali-anomali yang merusak kesan keterdidikan seorang guru.
e)      Pendidikan kita dirasa membelenggu dan tidak membebaskan. Paulo Freire (1999) mengemukakan pendidikan yang membelenggu ditandai dengan transaksi 1) preskriptif melalui pemberian perintah (resiptur), dan 2) transfer pengetahuan. Sedangkan pendidikan yang membebaskan  adalah pendidikan yang berlangsung secara dialogis dan transformasional.
f)       Pendidikan kita belum membangun individu belajar karena proses belajar yang dilakukan tidak melatih anak untuk dapat belajar (learn how learn), belajar yang miskin kreativitas, belajar yang terlalu mekanistis akan menghasilkan cara berpikir linier  tidak lagi fungsional.
g)      Pendidikan kita dirasa linier indoktrinatif karena system penyampaian pengetahuan tekstual kepada siswa akan melahirkan system linier indoktrinatif vertical dan akan menghasilkan siswa yang memiliki ketergantungan social yang tinggi yang pada akhirnya tidak akan menghasilkan potensi sumberdaya manusia bangsa, tetapi justru menjadi beban social bangsa. (Djohar, Haji : 2003)

2.      TANTANGAN PENDIDIKAN MASA DEPAN
Pembangunan pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti social budaya, ekonomi, teknologi, dan politik, oleh karena itu tantangan pendidikan di masa depan diantaranya :
a)      Selama lima tahun mendatang, Indonesia menghadapi tekanan jumlah penduduk yang makin besar. Jumlah penduduk yang pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 231 juta jiwa diperkirakan meningkat mencapai sekitar 249,7 juta jiwa pada tahun 2015 hal ini akan memperbesar ketimpangan persebaran penduduk perdesaan dan perkotaan serta penduduk pulau jawa dan luar pulau jawa
b)      Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian nasional pada persaingan regional dan global.
c)      Disparitas antargender dalam bidang pendidikan menunjukkan partisipasi perempuan Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang pendidikan sangat terbatas.
d)      Keterkaitan percaturan global terutama mengenai komitmen Dakar mengenai Education For All (EFA) dengan enam tujuan yang harus dicapai selambat-lambatnya pada tahun 2015 adalah: (1) memperluas kesempatan pendidikan untuk anak usia dini, (2) menyediakan program wajib belajar pendidikan dasar gratis untuk semua penduduk, (3) mempromosikan pembelajaran dan pendidikan kecakapan hidup atau pendidikan keterampilan bagi anak remaja dan dewasa, (4) meningkatkan angka melek aksara bagi orang dewasa sebesar 50%, (5) meningkatkan paritas gender pada tahun 2005 dan kesetaraan gender pada tahun 2015, dan (6) meningkatkan mutu pendidikan
e)      Tingginya angka pengangguran (tahun 2009 mencapai 10 juta jiwa) sehingga pendidikan harus menjamin keberpihakan terhadap masyarakat miskin (pro poor) untuk memperoleh akses seluas-luasnya  terhadap pendidikan yang bermutu pada semua jenis dan jenjang pendidikan di seluruh provinsi, kabupaten dan kota

3.      BUDAYA KITA SAAT INI
Secara umum, permasalahan yang masih dihadapi dalam pengembangan kebudayaan, antara lain adalah :
a)   pembangunan ekonomi yang belum mampu diimbangi oleh pembangunan karakter bangsa mengakibatkan terjadinya krisis budaya yang dapat memperlemah jati diri bangsa (nasional) dan ketahanan budaya,
b)   kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya belum optimal yang ditandai oleh
1)      adanya disorientasi tata nilai seperti nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramahtamahan sosial dan rasa cinta tanah air; dan
2)      adanya kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat mengakibatkan terbatasnya tempat penyaluran aspirasi masyarakat multikultur;
c)    identitas nasional mengalami penurunan, yang ditandai oleh
1)      belum memadainya pembentukan sikap moral dan penanaman nilai budaya yang mengakibatkan adanya kecenderungan semakin menguatnya nilai-nilai materialisme; dan
2)      kemampuan masyarakat dalam menyeleksi nilai dan budaya global masih terbatas sehingga terjadi pengikisan nilai-nilai budaya nasional yang positif; serta
d)   komitmen pemerintah dan masyarakat dalam mengelola kekayaan budaya belum optimal karena terbatasnya pemahaman, apresiasi, dan komitmen, yang ditandai oleh
1)      terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya seperti pencurian, penyelundupan, dan perusakan benda cagar budaya;
2)      adanya berbagai kekayaan budaya dan kekayaan intelektual yang belum terdaftar di Departemen Hukum dan HAM; dan
3)      kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola kekayaan budaya, baik kemampuan fiskal maupun kemampuan manajerial masih terbatas.
e)   Kondisi tersebut juga diperparah oleh sikap skeptis dan parsial terhadap budaya sehingga seolah-olah budaya merupakan sesuatu yang berdiri sendiri terpisah dari kehidupan masyarakat termasuk terpisah dari pendidikan bahkan pendidikan sendiri menempatkan dirinya sebagai media untuk mengembangkan kebudayaan padahal nilai-nilai budayalah yang harus mengembangkan pendidikan kita.

B.      PENGEMBANGAN NILAI-NILAI BUDAYA
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Identitas budaya terdiri atas perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antar sesama manusia serta antara manusia dan alam semesta.
Dalam memasuki milenium ketiga yang antara lain, ditandai dengan terjadinya perubahan tata nilai sebagai akibat adanya interaksi antarbudaya dalam proses globalisasi yang sedang melanda dunia, bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam pembangunan bidang kebudayaan. Untuk itu,upaya pembangunan karakter bangsa masih membutuhkan kerja keras yang persisten dan konsisten sehingga mampu mengatasi ketertinggalan. Sinergitas segenap komponen bangsa dalam melanjutkan pembangunan karakter bangsa harus terus diperkuat dalam rangka mewujudkan bangsa yang berkarakter, maju, berdaya saing, dan mewujudkan bangsa Indonesia yang bangga terhadap identitas nasional yang dimiliki, seperti nilai budaya dan bahasa.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya serta pranata sosial kemasyarakatan. Upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yang, antara lain, ditandai oleh semakin berkembangnya berbagai dialog lokal, nasional, dan internasional; tumbuhnya pemahaman atas keberagaman; dan menurunnya eskalasi konflik lokal horizontal di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional harus diarahkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa, melalui
1)      mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan penguatan ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus budaya global;
2)      meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi pesan moral yang terkandung pada setiap kekayaan dan nilai-nilai budaya bangsa;  
3)      mendorong kerja sama yang sinergis antarpemangku kepentingan dalam pengelolaan kekayaan budaya, serta
4)      nilai-nilai budaya yang di kembangkan dan dijunjung tinggi harus berkontribusi dengan jelas terhadap proses pendidikan yang dijalankan.

1.      BUDAYA SEBAGAI TATANAN HIDUP
 Budaya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, aturan-aturan dan norma-norma yang melingkupi suatu kelompok masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan individu dalam masyarakat tersebut. Sikap dan tindakan individu dalam suatu masyarakat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan nilai, keyakinan aturan dan norma akan menimbulkan sikap dan tindakan yang cenderung homogen. Artinya, jika setiap individu mengacu pada nilai, keyakinan, aturan dan norma kelompok, maka sikap dan perilaku mereka akan cenderung seragam. Misalnya dalam suatu masyarakat ada aturan mengenai bagaimana melakukan pernikahan sehingga laki-laki dan perempuan dapat disahkan sebagai suami istri. Ketika anggota masyarakat akan menikah, maka proses yang dilalui oleh anggota masyarakat itu akan cenderung sama dengan anggota masyarakat yang lainnya.
Pemahaman di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup (tatanan hidup) dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan. Disinilah pentingnya mengaktualisasikan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat dalam pendidikan.
Dewasa ini interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap budaya sendiri.
Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi (acculturation).
2.      NILAI-NILAI BUDAYA YANG MENGUATKAN MASYARAKAT
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya. Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat didefinisikan sebagai budaya masyarakat tersebut. Oleh karena itu definisi klasik mengenai budaya adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen: 1995)".
Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia akanjuga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu pula, budaya merupakan sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya
C.      PENDIDIKAN BERKELANJUTAN
Pendidikan berkelanjutan atau istilah dalam Renstra Depdikna 2010-2014 adalah  Education for Sustainable Development (EfSD) merupakan paradigma pendidikan baru yang diprakarsai oleh PBB melalui UNESCO dengan tujuan agar pendidikan menghasilkan manusia berakhlak mulia yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Manusia seperti itu memenuhi kebutuhannya dengan memperhatikan kebutuhan generasi saat ini dan generasi-generasi yang akan datang (keberlanjutan intergenerasional).
Paradigma ini mengajak manusia untuk berpikir tentang keberlanjutan Planet Bumi, dan bahkan keberlanjutan keseluruhan alam semesta. Paradigma ini pun menghendaki keberlanjutan kesehatan lingkungan dengan cara menjaga keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem, melestarikan komponen-komponen dalam ekosistem, dan menjaga keseimbangan interaksi antarkomponen dalam ekosistem. Selain itu, setiap bentuk intervensi manusia atas keseimbangan ekosistem baik itu melalui upaya-upaya pengembangan yang dosis intervensinya rendah sampai dengan pembangunan yang dosis intervensinya tinggi harus dilakukan dalam batas daya dukung lingkungan, tidak mengancam keberlanjutan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan menghemat penggunaan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Education for Sustainable Development (EfSD) juga menghendaki keberlanjutan keseimbangan lingkungan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, sebagai bagian integral dari ekosistem. Dengan kata lain, pendidikan berkelanjutan menghendaki manusia yang melestarikan keberlanjutan peradabannya tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistemnya.
Pendidikan berkelanjutan hanya akan terwujud apabila paradigma pembelajaran sepanjang hayat yang berpusat pada peserta didik, yang mengidamkan subyek pembelajar yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, inovatif, dan berkewirausahaan, betul-betul dilaksanakan. Tanpa adanya manusia pembelajar yang seperti itu, sulit sekali pendidikan berkelanjutan bisa terwujud. Pendidikan berkelanjutan juga menghendaki bahwa pendidikan untuk semua yang inklusif dan tanpa diskriminasi betul-betul dilaksanakan, karena adanya sebagian masyarakat yang tidak menjadi pembelajar sepanjang hayat akan menjadi sumber ketidakberlanjutan keseimbangan ekosistem.
Dalam perspektif pendidikan berkelanjutan, pendidikan bisa menjadi masalah, bisa juga menjadi solusi. Pendidikan menjadi masalah jika pendidikan tidak mengadopsi paradigma pendidikan berkelanjutan, sehingga menghasilkan manusia yang tidak peduli akan keberlanjutan keberadaan dirinya, komunitas masyarakatnya, sistem sosialnya, sistem ekonominya, kebudayaanya, dan lingkungan alamnya. Namun pendidikan bisa menjadi solusi jika pendidikan yang dilakukan dapat membangun kesadaran kritis tentang pembangunan yang berkelanjutan(Sustainable Development).
Selama ini ada pertentangan yang muncul, dimana semakin orang terdidik, semakin menjadi masalah, karena tingkat konsumsinya cenderung meningkat dan dilakukan dengan cara-cara yang boros sumberdaya dan merusak lingkungan.
Pendidikan harus menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan keseimbangan ekosistem. Yaitu pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Apapun yang dilakukan manusia terhadap ekosistem pasti akan ada akibatnya. Pada akhirnya muncul kesadaran bahwa bumi merupakan satu system yang “tertutup”. Ketika sumberdaya alam habis, maka sumberdaya alam itu tidak akan bisa diperoleh dari planet lain. Substansi lain yang harus ada dalam Education for Sustainable Development (EfSD) adalah pandangan dan kepercayaan terhadap masa depan dan berpikir holistic dengan visi jangka panjang.
Pendidikan harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung-jawab social, bumi adalah habitat semua manusia, karena itu nilai keadilan, tanggung-jawab sosial, dan demokrasi harus dikembangkan. Dengan nilai-nilai itu maka akan muncul pemahaman kritis tentang lingkungan dan semua bentuk intervensi terhadap lingkungan termasuk pembangunan.
Pembangunan pendidikan berkelanjutan akan memberikan berbagai keunggulan dalam mempersiapan masyarakat masa depan yang memiliki sikap dan tanggungb jawab terhadap keberlangsungan kehidupan  manusia karena :
1.      Melalui Education for Sustainable Development (EfSD) dilakukan upaya mendidik manusia agar sadar tentang tanggung jawab individual yang harus dikontribusikan, menghormati hak-hak orang lain, alam dan diversitas, dan dapat menentukan pilihan/keputusan yang bertanggung-jawab, serta mampu mengartikulasikan semua itu dalam tindakan nyata (think globally, but act locally).
2.      Melalui Education for Sustainable Development (EfSD) terbangun kapasitas komunitas/bangsa yang mampu membangun, mengembangkan, dan  mengimplementasikan rencana kegiatan yang mengarah kepada perkembangan, pengembangan, dan/atau pembangunan berkelanjutan, yaitu kegiatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, berbasis keadilan sosial dengan mempertimbangkan kelestarian beberapa ecosystem, antara lain :
a)      pengembangan kualitas SDM dan teknologi ramah lingkungan,
b)      pemeliharaan lingkungan dan diversivitas,
c)      keselarasan dan kelestarian budaya, dan
d)      keseimbangan produksi dan konsumsi yang kesemuamya itu berujung pada terbangunnya insan yang berakhlak mulia
3.      Melalui Education for Sustainable Development (EfSD), kita secara bersama mempunyai komitmen untuk berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih amanlnyaman bagi kita semua, baik sekarang maupun dimasa mendatang bagi anak cucu kita Ini merupakan sebuah pemahaman tentang kompleksitas dan diversitas secara komprehensif; serta bagaimana cara mengubah segala perkembangan/ pengembangan kearah sustainibilitas, dan dilaksanakan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang bijaksana, serta disosialisasikan secara efektif dan meluas

D.     NILAI-NILAI BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN BERKELANJUTAN
Pembangunan Pendidikan berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan konsep hidup yang berorientasi ke masa depan yang harus didukung oleh ketersediaan lingkungan baik lingkungan fisik (ecosystem) maupun lingkungan social yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang saling menguatkan diantara komponen lingkungan tersebut. Oleh karena itu perlu dibangun lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi berkenaan dengan kondisi yang berkembang pada sat itu.
Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi, oleh karena itu ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu :
  1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas)
  2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut
  3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
Nilai-nilai budaya inilah yang harus diaktualisaikan dalam proses pendidikan secara keseluruhan baik pada pendidikan forman, informal dan non formal. Dengan demikian ada dua aspek pembelajaran dalam Education for Sustainable Development (EfSD). Aspek pertama adalah pembelajaran individual, yang menyangkut wawasan, nilai-nilai, dan kemampuan individual. Aspek kedua adalah pembelajaran sosial, yang menyangkut pengembangan modal social dan masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Dengan demikian, pembelajaran akan menumbuhkan kemampuan kerjasama pada berbagai skala ekosistem, sehingga bisa melakukan adaptasi berlanjut pada skala ekosistem berikutnya.
Pendekatan pembelajaran yang lebih tepat dalam pembangunan pendidikan berkelanjutan adalah pendekatan “andragogi”, karena  teori andragogi memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Orang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi pembelajaran yang diikutinya (konsep diri dan motivasi belajar)
2.      Pengalaman menjadi dasar untuk aktivitas belajar(konsep pengalaman)
3.      Konsep kesiapan belajar bagi orang dewasa lebih tinggi karena relevan dengan pekerjaan dan kehidupan
4.      Orientasi  belajar pada pemecahan masalah (Malcom  S. Knowles : 1977)
Karena core dari andragogi adalah pengalaman dan pengalaman akan berkaitan langsung dengan kehidupan di masyarakat maka semua aktifitas yang dilakukan oleh pembelajar akan dijadikan modal utama dalam pengembangan kemampuan berikutnya dan berbagai keunggulan yang dimiliki pembelajar berdasarkan pengalamannya menjadi sarana untuk melakukan pewarisan nilai-niai budaya yang sekaligus akan memiliki kontribusi yang amat penting bagi kehidupan pembelajar di masa berikutnya. Inilah inti dari pembangunan pendidikan berkelanjutan.
E.      KESIMPULAN
1.      Pendidikan berkelanjutan adalah sebuah alternative pendidikan masa depan yang menghendaki keberlanjutan keseimbangan lingkungan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, sebagai bagian integral dari ekosistem dan merupakan pembelajaran sepanjang hayat yang berpusat pada peserta didik, yang mengidamkan subyek pembelajar yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, inovatif, dan berkewirausahaan.
2.      Pengembangkan nilai-nilai budaya menjadi bagian integral yang dapat mengokohkan pendidikan berkelanjutan karena ketersediaan ekosistem yang seimbang harus dibangun dari sikap-sikap arif yang menjadi bagian dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang agraris.
3.      Nilai-nilai budaya yang telah dikembangkan bangsa kita secara turun temurun memilliki keunggulan  dan kearifan dalam menciptakan ekosistem masa depan yang lebih seimbang dan mendukung pembangunan berkelanjutan, oleh karena itu kontribusi nilai-nilai budaya dalam proses pendidikan akan menjadi sangat berarti dalam menciptakan kehidupan manusia masa depan yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama. 2007. Kumpulan Undang-undang dan peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan,  Jakarta.
Depdiknas. 2010. Rencana Strategis 2010-1014, Jakarta
Sutrisno, Mudji dan Hendar Puranto (ed.). 2005. Teori- Teori Kebudayaan.  Yogyakarta: Kanisius.
Yusuf, Akhyar. 2009. Pemikiran Nietzsche: pengaruhnya terhadap  postmodernisme. Jakarta: Universitas Indonesia.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Paulo Frierie. 1999. Politik Pendidikan, Kebudayaan dan Pembebasan. Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arief Fudiyartanto. READ dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tilaar. H.A.R. Prof.Dr. 2002. Pendidikan Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia. Bandung. PT Remaja Rosda Karya.
Djohar Haji, 2003. Pendidikan Strategik, Alternatif untuk pendidikan masa depan. Yogyakarta. LESFI.
Handout mata kuliah Strategi Proses Belajar Mengajar Budaya Pendidikan Prof. Dr. Ahman Sya, 2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar