Senin, 04 April 2011

TRANSFORMASI KEARIFAN BUDAYA LOKAL SUNDA DALAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN BERKARAKTER


TRANSFORMASI KEARIFAN BUDAYA LOKAL SUNDA DALAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN BERKARAKTER
Oleh :
RAHMAT HIDAYAT

ABSTRAK
Budaya  dan masyarakat tidak dapat di pisahkan, keduanya saling berhubungan dengan erat, budaya sunda adalah milik sekitar 20 juta orang sunda yang selama ini perkembanggan dapat dikatakan kurang mendapat perhatian kebanyakan orang sunda sendiri.
Budaya sunda memiliki khazanah yang sangat lengkap dan berharga bagi kehidupan manusia mulai dari akasa, prasasti, naskah-naskah yang diwariskan serta adat istiadat yang menyertai kehidupan manusia sunda, (kawih, tembang, paribasa,  siloka, undak usuk basa, panca kaki ) didalamnya banyak kearifan-kearifan yang harus dikembangkan untuk menyertai kehidupan orang sunda pada generasi berikutnya,
Transformasi budaya dalam pendidikan karakter merupakan salah satu alternative agar khazanah budaya sunda berkembang dengan baik juga dapat dijadikan salah satu pemecahan permaslahan karakter bangsa kita pada saat ini.
Tranformasi dapat dilakukan dengan pemaknaan dan publikasi yang terus menerus agar dikenal dan dipahami oleh generasi muda orang sunda.

A.     PENDAHULUAN

Sekalipun sulit dalam merefresentasikan sosok manusia sunda (Ajip Rosidi : 2009) namun gambaran umum budaya sunda dapat kita baca dan telaah dari berbagai sumber dan adat istiadat (kebiasan) yang selama ini atau pada jaman dahulu dilakukan oleh suku bangsa sunda baik yang masih murni maupun yan sudah diakulturasikan dengan kebudayaan lain yang karenanya menjadi ada istiadat yang baru.
Lebih lanjut Ajip Rosidi (2009) mengatakan bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh beberapa hambatan diantaranya :
1.      Pergaulan yang erat antara orang sunda dengan orang jawa karena kedua suku tersebut sama-sama hidup dalam pulau yang sama menyebabkan banyaknya persamaan difat dan budaya antara manusia sunda dan manusia jawa.
2.      Lemahnya bukti-bukti sejarah yang menunjukan keberadaan orang sunda mulai dari sejarah kerajaan pertama di pulau jawa sampai kepada masuknya agama Islam ke  tatar sunda.
3.      Pada masyarakat sunda tidak ada daerah pusat budaya sunda berbeda dengan jawa yang menganggap Solo dan Yogyakarta sebagai daerah pusat budaya jawa. Sekalipun pada kongres basa sunda  tahun 1927 memutuskan bahwa yang menjadi bahasa lulugu (umum) adalah bahasa dialek Bandung tetapi Bandung tidak dikatakan sebagai pusat budaya sunda.
4.      Pengakuan dan pemahaman  masyarakat sunda terhadap karya sastra dan adat istiadat sunda seperti pepeling, siloka, pamali dan lain-lain sangat lemah karena kurangnya penyebaran karya sastra dan adat istiadat tersebut. (urang sunda mah teu kuat nahan adat beda jeung urang jawa)
5.      Telaah terhadap kebudayaan sunda sangat jarang/tidak banyak.
Oleh karena itu kalau kita telaah baik dari sosok imajiner orang sunda (misal : sangkuriang, si kabayan, mundinglaya, purbasari dll)  maupun dari sejarah kesundaan dan adat istiadat sunda ternyata banyak sekali ragam budaya sunda yang memiliki nilai-nilai pendidikan karakter yang memiliki kearifan dan menunjukkan keunggulan hidup manusia sunda pada jaman dahulu.
Dalam budaya sunda banyak tembang dan kawih yang didalamnya penuh dengan tuntunan hidup dalam pembentukan karakter manusia, banyak pupuh asmarandana yang berisi pepeling (nasihat). Dalam kehidupan social terdapat undak usuk basa, tatakrama dan panca kaki yang mengatur pola hubungan kekerabatan orang sunda yang mencerminkan karakter saling hormat menghormati dan harga menghargai diantara anggota masyarakat dan tali kekerabatan. Dalam membangun sebuah masyarakat yang dimulai dari membangun sebuah keluarga terdapat adat istiadat pernikalah mulai dari melamar/meminang, seserahan, ngeuyeuk seureuh, midadaren, akad nikah, upacara sawer dan buka pintu, upacara huap lingkung sampai dengan upacara numbas, kalau kita cermati penuh dengan nilai-nilai pendidikan karakter, bahkan didalamnya terdapat metode-metode bagaimana orang tua mendidikan anaknya tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dialami. Siloka dan kata ”pamali” merupakan metode efektif dalam mendidikan anak agar memiliki karakter dan akhlak yang baik dalam hidupnya.
Dalam konteks pendidikan kita sekarang ini, hampir dapat dipastikan lemahnya proses pendidikan dalam membangun karakter bangsa, sekalipun banyak factor penyebabnya namun transformasi budaya dalam hal ini budaya local masih sangat mungkin kita lakukan karena sudah terbukti banyak karifan local yang dapat memandirikan dan membangun akhlak/karakter yang baik.
Permasalahan udamanya adalah :
1.      bagaimana transformasi budaya itu dilakukan melalui proses pendidikan ?  
2.      dalam aspek apa saja kearifan budaya itu dikembangkan dalam proses pembelajaran ?  
3.      bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan oleh praktisi pendidikan agar kearifan budaya local sunda dapat menunjang pendidikan karakter bangsa.
Perlu pula kita sadari dalam konstelasi pendidikan yang selama ini dijalankan, bahwa pengembangan kurikulum persekolahan yang diserahkan kepada pelaksana dilapangan (guru dan pimpinan satuan pendidikan) melalui Manajemen Berbasis sekolah (MBS) dan desentralisasi serta diversifikasi kurikulum belum bisa mengangkat dan mewadahi kepentingan kearifan budaya local yang ada pada masyarakat lingkungan sekolah. Bahkan dengan pelajaran muatan local (mulok) bahasa sunda saja tidak cukup untuk memformulasikan transformasi kearifan local budaya sunda dalam pendidikan karakter bangsa.

B.      PEMBAHASAN
1.      Budaya sebagai tatanan hidup
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Identitas budaya terdiri atas perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antar sesama manusia serta antara manusia dan alam semesta (Kuntjaraningrat : 2009).
Budaya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, aturan-aturan dan norma-norma yang melingkupi suatu kelompok masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan individu dalam masyarakat tersebut. Sikap dan tindakan individu dalam suatu masyarakat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan nilai, keyakinan aturan dan norma akan menimbulkan sikap dan tindakan yang cenderung homogen. Artinya, jika setiap individu mengacu pada nilai, keyakinan, aturan dan norma kelompok, maka sikap dan perilaku mereka akan cenderung seragam. Misalnya dalam suatu masyarakat ada aturan mengenai bagaimana melakukan pernikahan sehingga laki-laki dan perempuan dapat disahkan sebagai suami istri. Ketika anggota masyarakat akan menikah, maka proses yang dilalui oleh anggota masyarakat itu akan cenderung sama dengan anggota masyarakat yang lainnya.
Pemahaman di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup (tatanan hidup) dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan. Disinilah pentingnya mengaktualisasikan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat dalam pendidikan.
Dalam memasuki milenium ketiga yang antara lain, ditandai dengan terjadinya perubahan tata nilai sebagai akibat adanya interaksi antarbudaya dalam proses globalisasi yang sedang melanda dunia, bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam pembangunan bidang kebudayaan. Untuk itu, upaya pembangunan karakter bangsa masih membutuhkan kerja keras yang persisten dan konsisten sehingga mampu mengatasi ketertinggalan. Sinergitas segenap komponen bangsa dalam melanjutkan pembangunan karakter bangsa harus terus diperkuat dalam rangka mewujudkan bangsa yang berkarakter, maju, berdaya saing, dan mewujudkan bangsa Indonesia yang bangga terhadap identitas nasional yang dimiliki, seperti nilai budaya dan bahasa.
Dewasa ini interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap budaya sendiri.
Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya serta pranata sosial kemasyarakatan termasuk budaya sunda di dalamnya. Upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yang, antara lain, ditandai oleh semakin berkembangnya berbagai dialog lokal, nasional, dan internasional; tumbuhnya pemahaman atas keberagaman; dan menurunnya eskalasi konflik lokal horizontal di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional harus diarahkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa, melalui
a)      mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan penguatan ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus budaya global;
b)      meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi pesan moral yang terkandung pada setiap kekayaan dan nilai-nilai budaya bangsa; 
c)      mendorong kerja sama yang sinergis antarpemangku kepentingan dalam pengelolaan kekayaan budaya, serta
d)      nilai-nilai budaya yang di kembangkan dan dijunjung tinggi harus berkontribusi dengan jelas terhadap proses pendidikan yang dijalankan.

2.      Budaya Sunda dan Karakter “Ki Sunda”
Budaya sunda yang kaya dengan karakter “ki sunda” memiliki nilai-nilai kearifan filosofik yang manusiawi dan universal, dan tentunya masih relevan untuk dijadikan pandangan hidup dalam mengarungi kehidupan kita sekarang. Ketika kita mempelajari kebudayaan sunda kita akan dapat mengetahui, mengenal dan memahami sejarah kebudayaan dan peradaban para leluhur nenek moyang kita yang meliputi aksara, prasasti, dan naskah yang diwariskannya serta segenap karakter, adat istiadat yang berkembang selama ini.
Dalam adat pengajaran orang sunda banyak ditunjukkan hubungan antara murid dengan guru, methode guru menasihati muridnya, dan pengungkapan semboyan-semboyan hidup dan analogi/siloka yang melatih anak didiknya untuk cermat dan menghayati/memaknai isyarat-isyarat yang muncul dalam kehidupan, kesemuanya itu sangat berkaitan dengan pembangunan karakter manusia. (Hasan Mustapa : 2010)
Hubungan guru dengan murid dibangun sama antara hubungan orang tua (ratu) dengan anaknya yang pada hakikatnya hubungan antara orang dewasa yang banyak luangnya dengan dengan orang yang lebih muda. Dan yang lebih dewasa memberikan contoh kepada yang lebih muda karena perbuatannya akan diikuti oleh keturunannya. Orang dewasa dalam menghadapi anak muda harus panjang jeujeuhan artinya memiliki pertimbangan dan pemahaman yang luas supaya orang mudanya memiliki asak jeujeuhan.
Methode guru menasihati muridnya dengan cara menunjukkan hal-hal negative dari akibat melakukan kesalahan pada masa lalu dengan kata “pamali”(tabu). “Pamali ulah ngadiukan nyiru bisi labuh dinu loba batur” nasihat ini untuk melarang anak menduduki “nyiru” tempat mendinginkan nasi setelah di masak, karena “nyiru” bukan tempat duduk. “Labuh dinu loba batur” merupakan akibat sebagai gambaran yang tidak baik sebab dis mping jatuh itu sakit kalau jatuhnya di depan banyak orang akan malu. “pamali ulah ulin wanci sareupna bisi dirawu kelong” artinya tdak boleh bermain pada saat itu karena waktunya orang islam melaksanakan sholat magrib.
Semboyan hidup diungkapkan secara terus-menerus dengan peribahasa dan terjemahan yang lugas  dan praktis supaya menjadi pedoman hidup bai siapapun yang memahaminya. Seperti semboyah hidup dengan peribahasa “ tata-titi-duduga-peryoga”. Tata artinya tataman (semut) yang banyak temannya dan selalu bersalaman bila bertemu sekalipun terburu-buru. Titi  artinya titinggi (trenggiling)  yang banyk kakinya tetapi ketika berjalan terurus dengan baik  bagai seorang pembesar yang berbudi menggerakkan rakyatnya yang kecil. Duduga artinya munding (kerbau) yang selalu berjalan di pinggir kalau dan tidak pernah congkak. Peryoga artinya buruh hap-hap yang karena kehati-hatiannya kalau hingga di satu pohon selalu di cek dulu apakah pohon itu kokoh atau tidak.
Demikian pula kalau orang sunda menikah sebelum menikah, pada saat proses menikah (ijab kobul) dan setelah proses menikah dipenuhi dengan adat istiadat yang kesemuanya merupakan upaya pendidikan pada memontum penting dalam kehidupan manusia sebelum membangun  rumah tangga sebagai tanda kehidupan orang uang sudah dewasa yang harus mandiri dan penuh tanggung jawab. Adat istiadat tersebut diantaranya :
a)      melamar/meminang,
Melamar atau meminang adalah kunjungan pertama orang tua laki-laki kepada calon besan baik dating sendiri atau melakilkan untuk neundeun omong (menitip ucapan) atau menyimpan janji yang menginginkan anak calon besannya untuk menjadi  menantunya.
b)      seserahan,
pihak laki-laki membawa barang-brang, pakaian , uang bahkan perabot rumah yang diserahkan pada saat atau menjelah pernikahan berlangsung. Dalam acara seserahan juga dilakukan serah terima calon pengantin laki-laki dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga calon istri/perempuan.
c)      ngeuyeuk seureuh,
tradisi ini dilakukan dengan cara calon pengantin membasuh telapak kaki orang tuanya agar mendapat keberhakan dari pernikahannya. Ngeuyeuk seureuh artinya mengurus, mengerjakan atau mengatur sirih serta menyambung-nyambungkannya agar bersatu.
d)      midadaren,
tradisi ini dilakukan oleh calon pengantin  untuk menjaga diri tidka boleh keluar rumah untuk mempersiapkan malam pengantin midodaren (malam membidadari).
e)      akad nikah,
tradisi melakukan ijab kobul akad nikah sebagaimana diatur dalam ajaran agama yang dianutnya, karena mayoritas masyarakat sunda menganut agama Islam maka upacara akad nikah disesuaikan dengan tuntunan ajaran agama Islam.
f)       upacara sawer dan buka pintu,
tradisi ini dilakukan stelah selesai akan nikah sebelum kedua pengantin memasuki rumah, dipimpin oleh juru sawer yang melantunkan syair-syair berupa nasihat bagi kedua pengantin sebagai bekal dalam membangun rumah tangganya. Dan upacara buka pintu biasanya dilakukan dengan nincak endog (menginjak telur) oleh pengantin laki-laki sebagai pembuka bagi yang bersangkutan karena akan bergabung dengan keluarga istrinya, nincak endog (menginjak telur) mengandung siloka bagi kedua pengantin apa yang akan dialaminya setelah perkawinan di lakukan.
g)      upacara huap lingkung  dan
tradisi ini dilakukan dengan cara kedua pengantin saling berebut bakakak ayam (panggang ayam) kemudian saling menyuapinya sebagai tanda keduanya harus saling bekerjasama dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
h)      upacara numbas
adalah memberikan hadiah kepada pengantin perempuan karena telah menjaga kesuciannya sampai pernikahan. (Elis Suryani : 2010)
Kalau kita cermati apa yang dilakukan dalam prosesi pernikahan semua merupakan penanaman sikap-sikap sebagai karakter terbaik bagi orang yang telah memasuk masa dewasa mealui jenjang pernikahan.

3.      Transformasi budaya sunda dalam pendidikan karakter
Dengan mencermati perilaku “ki sunda” di atas betapa pentingnya karakter-karakter yang baik dari “ki sunda” itu dipedomani dan dilaksanakan oleh generasi kita saat ini ditengah-tengah bangsa kita mengalami krisis multi dimensi.
Pendidikan harus tampil melakukan transformasi budaya baik melalui jalur persekolah maupun jalur pendidikan lainnya. Budaya sunda jangan hanya di pelajarkan melalui muatan local bahasa  sunda saja tetapi harus lebih luas dari pada itu.
Guru harus panjang jeujeuhan supaya dapat mendidik anak yang asak jeujeuhan, pada lingkup proses pendidikan budaya “pamali” (tabu) harus di kuatkan tidak perlu dirasionaliasi jika akan mengakibatkan dangkalnya pemahaman murid terhadap budaya tabu tersebut.
Semua pihak harus memberikan ruang yang lebih terbuka untuk berkembangnya kebudayaan sunda dan memaknainya sebagai bagian bari upaya pendidikan karakter bangsa.
Pepeling pupuh asmarandana misalnya yang berbunyi :
Eling-eling mangka eling
Rumingkang dibumi alam
Darma wawayangan bae
Raga taya pangawasa
Lamun kasasar lampah
Napsu nu matak kaduhung
Badan nu katempuhan
(Pepeling karya Bratawijaya, Ajip Rosidi : 2009) kalau kita cermati pupuh ini memiliki makna filosofis hudup yang sangat berarti sehingga perlu di publikasikan secara terbuka dan terus menerus, dan para praktisi pendidikan harus memberikan pemaknaan yang mendalam bagi generasi muda dalam memahami pupuh tersebut. Itulah bagian dari transformasi kearifan budaya lokal sunda dalan pendidikan karakter.
Transformasi budaya sunda dalam pendidikan karakter juga dapat dilakukan dengan memberikan terjemahan/pemaknaan secara lugas dan mempublikasikanya secara terus-menerus terhadap semua pribahasa, siloka, semboyan hidup dan kegiatan upacara-upacara adat orang sunda yang menyertai kehidupan formal masyarakat agar generasi berikutnya memiliki pemahaman yang luas tentang pentingnya pengembangan dan pelestarian kearifan budaya local sunda yang akan membantu mengembangkan karakter masyarakat sunda yang dinamis, religious dan memiki ketahanan (survive) hidup bermartabat pada masanya.

C.      KESIMPULAN

Transformasi budaya sunda dalam pendidikan karakter sangat penting dilakukan sebagai bukti “ki sunda” memiliki berbagai kearifan yang berguna bagi kehidupan manusia ada generasi berikutnya.
Transformasi budaya dapat dilakukan dengan memberikan pemaknaan yang lebih lugas dan terbuka serta melakukan publikasi secara terus menerus agar dapat dipahami secara lebih mendalam oleh generasi muda.
Pengembangan strategi dan methode pendidikan pada sekolah perlu memaknai kahidupan orang sunda yang lebih memperhatikan pola hubungan dan interaksi edukatif yang memenuhi kebutuhan mental dan moral peserta didik melalui penanaman undak usuk basa, tatakrama dan panca kaki yang mengatur pola hubungan kekerabatan orang sunda.
Perlu dikembangkan pendidikan berbasis budaya yang didalamnya dikembangkan kebijakan-kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya sebagai landasan bertindak dan berpijak. Semua pendidik dan tenaga kependidikan memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan budaya dalam pendidikan yang dijalankan.


DAFTAR BACAAN :
Ajip Rosidi : Manusia Sunda, sebuah Asai tentang Tokoh-Tokoh Sastera dan Sejarah, Jakarta. 2009.  Kiblat.
Elis Suryani NS : Ragam Pesona Budaya Sunda.  Bogor. 2011. Ghalia Indonesia
Edi S. Ekadjati : Kebudayaan Sunda Jilid 2 : Jakarta. 2009. Pustaka Jaya
Haji Hasan Mustafa : Adat Istiadat Sunda. Penerjemah : M. Maryati Sastrawijaya, Bandung. 2010. PT. Alumni.
Peurses, A.Van : Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, 2009. Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar